Pulau
Breueh adalah sebuah pulau yang
terletak di sebelah barat laut pulau Sumatra dan di sebelah barat laut Pulau Weh. Secara
administratif pulau ini termasuk dalam wilayah kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Dan di pulau Breueh inilah ibukota kecamatan
Pulau Aceh yaitu kota Lampuyang berada. Pulau yang termasuk ke dalam salah satu
kawasan Sabang ini memiliki banyak potensi pariwisata, khususnya pariwisata
bahari, wisata sejarah, dan wisata Alam. Adapun beberapa potensi wisata bahari
yang terdapat di Pulo Aceh antara lain Pantai Nipah, Pantai Deumit, Pantai
Deudap, Pantai Alue Reuyeng, Pantai Pasi Raya, Pantai Meulingge, Pantai Balu,
Pantai Alue Raya, Pantai Pasi Lambaro.
Itu sekilas tentang destinasi Ekspedisi (penjelajahan) kami Pramuka a.k.a Racana Iskandar Muda Putroe Phang UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ini adalah kunjunganku yang ketiga kalinya ke Pulau Aceh, tepatnya pulau breuh. Pengalaman pertama ke Pulau Breueh mungkin sama dengan cerita kali ini yaitu Ekspedisi Pramuka, namun kali kedua ke Pulo aku bersama komunitas Turun Tangan Aceh menjadi relawan dalam program travelling dan berbagi yang mana program tersebut diselenggarakan oleh Turun Tangan Aceh sendiri untuk berbagi bersama anak-anak SD Meulingge tentang aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Bahkan di program itu, kami sebagai relawan lah yang banyak mendapatkan hal yang sangat melembutkan hati kami. But, kali ini aku mau cerita tentang pengalaman kedua kalinya Ekspedisi Pramuka ke Pulau Breueh, yang pastinya berbeda versi, tahun lalu berperan sebagai peserta yang mengikuti acara, dan tahun ini sebagai panitia yang menyelenggarakan acara, yang pastinya sedikit banyaknya pengalaman dan hal menarik yang patut diceritakan untuk anak cucu nantinya, Heheheh..
Itu sekilas tentang destinasi Ekspedisi (penjelajahan) kami Pramuka a.k.a Racana Iskandar Muda Putroe Phang UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ini adalah kunjunganku yang ketiga kalinya ke Pulau Aceh, tepatnya pulau breuh. Pengalaman pertama ke Pulau Breueh mungkin sama dengan cerita kali ini yaitu Ekspedisi Pramuka, namun kali kedua ke Pulo aku bersama komunitas Turun Tangan Aceh menjadi relawan dalam program travelling dan berbagi yang mana program tersebut diselenggarakan oleh Turun Tangan Aceh sendiri untuk berbagi bersama anak-anak SD Meulingge tentang aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Bahkan di program itu, kami sebagai relawan lah yang banyak mendapatkan hal yang sangat melembutkan hati kami. But, kali ini aku mau cerita tentang pengalaman kedua kalinya Ekspedisi Pramuka ke Pulau Breueh, yang pastinya berbeda versi, tahun lalu berperan sebagai peserta yang mengikuti acara, dan tahun ini sebagai panitia yang menyelenggarakan acara, yang pastinya sedikit banyaknya pengalaman dan hal menarik yang patut diceritakan untuk anak cucu nantinya, Heheheh..
Topi udah,
yicam ada, charger ada, smartphone di tangan, pakai carrier, pakai
sepatu, ayo kita berkelana..!
Pulau Aceh, pulau dimana keasrian Aceh ini
bermula, tempat berparas surga yang belum banyak dijamah manusia, tempat dimana
aku memiliki sandaran saat merasa bosan dengan rutinitas, saat otak terasa
berat untuk tetap berada dalam keramaian, tempat dimana kebosanan dan sakitku
akan sembuh, tempat dimana aku menemukan sesuatu yang aku cari, tempat dimana
kebutuhanku akan segera terwujud, tempat segala hal yang ku butuhkan ada. Kini
aku akan menyapa pagi disurga kecil itu dan bermain dengan apa yang ada disana,
menikmati perjalananku dengan kerendahan hati lalu menemukan yang menjadi
kebutuhanku.
Tepat pukul 14:00 WIB
berlokasi di Lampulo, Banda Aceh. Kami rombongan Ekspedisi ke XIII Racana UIN
Ar-Raniry berangkat menuju Pulau Breueh, selama kurang lebih 2 jam didalam
kapal nelayan yang ditemani amukan ombak, matahari yang bersembunyi dibalik
hitamnya awan yang enggan menangis, seakan tau dibawahnya ada segelintir
manusia yang tak memiliki atap untuk berteduh. Sebagian dari mereka yang tak
terbiasa dengan perjalanan laut pun merasa pusing, mual dan kemudian tumpah
ruah segala macam isi perut, ada sebagian yang lain memilih untuk tidur agar
segala rasa itu tak terasa. Kau tau? Hidup itu hanya perkara memilih atau tidak
! Ingin merasakan atau tidak, keduanya punya efek samping dan resiko yang harus
ditanggung, kawan!. ahh, jangan baper dengan laut, hahahaaa…!
Tak lama setelah
merasakan nano nanonya ombak laut, kami pun sampai di pelabuhan, entah apa
namanya, yang kutahu desa tempat pelabuhan itu berada adalah Lampuyang, desa
yang akan menerima kami untuk bermalam sebelum memulai sebuah perjalanan mencari
jati diri (bagi panitia) dan mendapatkan status “anggota” (bagi peserta, LOL).
Time is counting, hiruk pikuk anak pramuka pun
terdengar di kantor Pak Camat desa Lampuyang, malam yang harusnya diselimuti
sejuk dan tenang, berubah menjadi pasar sauna, dimana ada beribu mulut yang
berkomat kamit dengan mulut yang lainnya dan panasnya tubuh disebabkan
meluapnya manusia yang berada diperut ruangan. Tak banyak yang bisa dikerjakan
malam itu, sedikit melirik drama korea di smartphone-nya junior a.k.a April
(Hahaa..) tak sengaja terlelap, melek lagi, kepala terasa dihimpit batu besar,
kupaksa untuk menutup mata walaupun memakan waktu baginya untuk mengiyakan
perintahku.
Bukan azan subuh ataupun kicauan burung yang
membangunkanku pagi itu, melainkan suara kaki yang berjalan kesana kemari,
tangan yang mengobrak abrik plastik packingan dan membuka carrier, mulut yang
saling bercengkrama, mereka lah para pengantri kamar mandi yang takut akan
habisnya air, hemmm. Sungguh mengganggu waktu tidur yang masih tersisa 2 jam lagi
sebelum subuh tiba.
Setelah beribadah,
mandi, solek a.k.a dandan!??? (LOL), masak, makan, dan sedikit terapi pijat
memijat kepala oleh Raja Rimba a.k.a Ka’ Ibnu Hafidh atau yang lebih akrab
disapa “Om” (telolet om) hehee.. Kami
para pencari jati diri dan pencari status anggota memulai sebuah perjalanan
untuk menemukan hal tersebut. Beda dengan versi ketika aku menjadi pencari
status, ekspedisi kali ini mereka ditemani para pencari jati diri disetiap
kelompoknya, agar jalan yang dilalui untuk menemukan status itu tidak salah dan
tersesat. Dimulai dengan sebuah titik koordinat dan kompas, sang pencari pun mendaki
gunung pertama, melewati lembah dan semak belukar, membuka lebatnya hutan agar
mudah untuk melangkah, merangkak dibawah tumbangnya pohon besar, tumakninah disetiap
nafas dan saat kaki berkata “lelah”, tapi itu hanya tumakninah, bukan tahiyatul
akhir untuk mengucapkan salam penutup. Perjalanan terus berlanjut, tak sedikit
waktu kami habiskan untuk melewatinya.
Kaki yang melangkah lebih berat dari biasanya, akhirnya sampai dipuncak pertama, lega rasanya untuk saat itu, seketika lupa dengan luka yang dilewati beberapa ratus meter sebelumnya, yang kami tau saat itu adalah tersenyum, tumakninah lagi, bersyukur dan bersiap, karena itu baru permulaan. Masih ada 3 sampai 5 gunung, sungai, bukit, lembah, hutan, pantai dan tanjakan lainnya yang akan kami lewati untuk beberapa hari kedepan. Sesaat menghela nafas dan mengabadikan pesonanya dari atas bukit, kami kemudian turun kesisi lain dari bukit, melewati perkebunan cengkeh. Di zona ini kami melupakan satu hal, yaitu “pelepah pinang” dengan itu mungkin kami membutuhkan 5 menit saja untuk sampai kebawah, tapi sangat disayangkan karena kami harus menjaga langkah kaki agar kuat menahan beratnya carrier kami bukan beratnya beban hidup. Perlahan tapi pasti, terjalnya bukit berhasil kami lalui dan sampailah dikaki bukit dilapisi semen a.k.a jalan setapak. Menunaikan kewajiban akhirat, mengisi perut yang kosong, mengatur pernafasan, perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan terjal penuh kelelahan, 2km berjalan merangkak dengan nafas terengah engah, selangkah demi selangkah, sesak didada pun sangat terasa, kepala dan jantung berdegub kencang, tetesan keringat bak membanjiri tubuh, ingin rasanya bertahiyatul akhir, tapi tekad terus berkata “cukup tumakninah saja”.
Berhenti dan menarik nafas sedalam dalamnya kemudian menghembuskan secara perlahan, kucoba terus ikuti perintah tekad, tak ingin ku berhenti sebelum kumenemukan jati diri itu.
Selang beberapa saat berjalan ditanah yang datar, kenyataan itu kembali datang, melihat gunung yang membuat kepala harus mendongak, kaki seakan ingin berbalik dan mata yang ingin menjadi sayu, “kesuksesan itu tidak pernah mulus jalannya”. Mungkin itu yang terbesit sehingga aku ingin terus berjalan tanpa bantah. Rintangan belumlah berakhir, setelah tingginya gunung, kami kembali dihadapi dengan jurang yang curam yang mana untuk menaklukkannya saja harus menggunakan tali sebagai alat pegangan, satu persatu berangsur angsur menuruninya, dibantu beberapa panitia dan peserta laki-laki, kami yang mayoritas perempuan turun perlahan. Jurang dan turunan terjal tak akan berakhir untuk hari itu, setelah jurang terlihatlah turunan terjal (lagi), itulah yang terjadi pada hari pertama penjelajahan. Tali demi tali pun diikat dipepohonan agar mudah untuk turun dari curamnya bukit, saat tali manusia mencapai titik akhirnya, tali alam dari Tuhan menjadi penolong kemudian. Tanah yang licin akibat rintikan hujan, bebatuan dan tanah yang kian longsor ketika dipijak, membuat kami lelah dan sesak untuk melewatinya. Tak cukup hanya bermodalkan tali buatan dan tali alam, ketika keduanya tak ada, kami semua membuat tali sendiri. Ketika itu matahari sudah berganti peran menjadi bulan, terang menjadi gelap, cahaya hanyalah dari bola kecil yang dilindungi perangkat atom dan besi yang kemudian dinamakan senter, bersama-sama kami merentangkan tangan, kedua sisi tangan menggengam tangan teman lainnya dan membentuk tali manusia, persis seperti potongan orang-orang dari kertas buku (jika kalian pernah bermain dengan itu ketika kecil), saling berpegangan, membantu menopang yang lainnya untuk turun dan diakhir tangan akan disambung oleh dia yang turun setelahnya, silih berganti kumelewati dengan berpegang pada lengan-lengan mereka dan terus terdengar kata “hati-hati kak..”, “pelan-pelan aja kak, pegang tangan kami” “jangan injak batu itu, nanti terpeleset”, “genggam yang kuat”..mayoritas dari mereka itu peserta loh, beuhkkk… aku salut sama kalian dek!
Kaki yang melangkah lebih berat dari biasanya, akhirnya sampai dipuncak pertama, lega rasanya untuk saat itu, seketika lupa dengan luka yang dilewati beberapa ratus meter sebelumnya, yang kami tau saat itu adalah tersenyum, tumakninah lagi, bersyukur dan bersiap, karena itu baru permulaan. Masih ada 3 sampai 5 gunung, sungai, bukit, lembah, hutan, pantai dan tanjakan lainnya yang akan kami lewati untuk beberapa hari kedepan. Sesaat menghela nafas dan mengabadikan pesonanya dari atas bukit, kami kemudian turun kesisi lain dari bukit, melewati perkebunan cengkeh. Di zona ini kami melupakan satu hal, yaitu “pelepah pinang” dengan itu mungkin kami membutuhkan 5 menit saja untuk sampai kebawah, tapi sangat disayangkan karena kami harus menjaga langkah kaki agar kuat menahan beratnya carrier kami bukan beratnya beban hidup. Perlahan tapi pasti, terjalnya bukit berhasil kami lalui dan sampailah dikaki bukit dilapisi semen a.k.a jalan setapak. Menunaikan kewajiban akhirat, mengisi perut yang kosong, mengatur pernafasan, perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan terjal penuh kelelahan, 2km berjalan merangkak dengan nafas terengah engah, selangkah demi selangkah, sesak didada pun sangat terasa, kepala dan jantung berdegub kencang, tetesan keringat bak membanjiri tubuh, ingin rasanya bertahiyatul akhir, tapi tekad terus berkata “cukup tumakninah saja”.
Berhenti dan menarik nafas sedalam dalamnya kemudian menghembuskan secara perlahan, kucoba terus ikuti perintah tekad, tak ingin ku berhenti sebelum kumenemukan jati diri itu.
Selang beberapa saat berjalan ditanah yang datar, kenyataan itu kembali datang, melihat gunung yang membuat kepala harus mendongak, kaki seakan ingin berbalik dan mata yang ingin menjadi sayu, “kesuksesan itu tidak pernah mulus jalannya”. Mungkin itu yang terbesit sehingga aku ingin terus berjalan tanpa bantah. Rintangan belumlah berakhir, setelah tingginya gunung, kami kembali dihadapi dengan jurang yang curam yang mana untuk menaklukkannya saja harus menggunakan tali sebagai alat pegangan, satu persatu berangsur angsur menuruninya, dibantu beberapa panitia dan peserta laki-laki, kami yang mayoritas perempuan turun perlahan. Jurang dan turunan terjal tak akan berakhir untuk hari itu, setelah jurang terlihatlah turunan terjal (lagi), itulah yang terjadi pada hari pertama penjelajahan. Tali demi tali pun diikat dipepohonan agar mudah untuk turun dari curamnya bukit, saat tali manusia mencapai titik akhirnya, tali alam dari Tuhan menjadi penolong kemudian. Tanah yang licin akibat rintikan hujan, bebatuan dan tanah yang kian longsor ketika dipijak, membuat kami lelah dan sesak untuk melewatinya. Tak cukup hanya bermodalkan tali buatan dan tali alam, ketika keduanya tak ada, kami semua membuat tali sendiri. Ketika itu matahari sudah berganti peran menjadi bulan, terang menjadi gelap, cahaya hanyalah dari bola kecil yang dilindungi perangkat atom dan besi yang kemudian dinamakan senter, bersama-sama kami merentangkan tangan, kedua sisi tangan menggengam tangan teman lainnya dan membentuk tali manusia, persis seperti potongan orang-orang dari kertas buku (jika kalian pernah bermain dengan itu ketika kecil), saling berpegangan, membantu menopang yang lainnya untuk turun dan diakhir tangan akan disambung oleh dia yang turun setelahnya, silih berganti kumelewati dengan berpegang pada lengan-lengan mereka dan terus terdengar kata “hati-hati kak..”, “pelan-pelan aja kak, pegang tangan kami” “jangan injak batu itu, nanti terpeleset”, “genggam yang kuat”..mayoritas dari mereka itu peserta loh, beuhkkk… aku salut sama kalian dek!
Jujur….ketika itu aku merinding dan terharu,
ditengah malam nan gelap, didalam lebatnya hutan rimba, dibawah sinar rembulan,
kami yang baru saja kenal satu sama lain, tak tahu menahu tentang cerita dan
jalan hidup, berperan layaknya keluarga yang saling melengkapi, tak memandang
apakah ia kaya atau miskin, tua atau muda, besar atau kecil, kuat ataupun
lemah, semua bergerak tanpa koordinasi, seperti tau jalan pikiran masing-masing
yaitu “tetaplah bersama” walaupun rintangan dan hambatan tengah menghampiri. Ini
kisah haru, dan ini kisah nyata, nak, cu (buat anak dan cucu nanti). Seperti kataku sebelumnya, jurang yang terjal
tidak berakhir hari ini. Pukul 23:15 WIB, kami masih diselimuti pepohonan besar
dan dibawah cahaya bulan, tak mungkin untuk tetap turun dengan keadaan tubuh
yang sungguh sangat lelah dan malam pun semakin kelam. Menuruni curamnya jurang
itu dimulai sejak pukul 15:50 WIB, tidak bisa dijelaskan bagaimana
memberontaknya seluruh organ tubuh jika ia bisa bicara.
Tidur dibawah cahaya bulan beralaskan terpal, beratapkan langit, berselimutkan jaket dan sleeping bag, ditemani tumpukan kecil api unggun yang mereka longgokkan, masih saja terasa dinginnya hingga menusuk tulang, tapi aku ingin tidur, mengistirahatkan seluruh anggota tubuh agar mudah untuk menghadapi hari esok. Semakin subuh semakin dingin, tetapi kicauan mulut mereka terus saja mengganggu tidurku dan memaksa untuk bangun. Hari kedua telah tiba, hari dimana langkah menjadi sedikit lebih mudah, karena yang dilewati adalah bibir pantai dan beberapa tebing yang sesekali mengingatkan trauma tahun lalu, ditengah malam melewati tebing tanpa cahaya selain dari bola kecil bernama senter, aku hampir saja menjemput sakit parah atau bisa berujung kematian ditebing tersebut. Syukurlah, tahun ini aku melewatinya dibawah sinar mentari yang membantu langkah menjadi lebih terang.
Tidur dibawah cahaya bulan beralaskan terpal, beratapkan langit, berselimutkan jaket dan sleeping bag, ditemani tumpukan kecil api unggun yang mereka longgokkan, masih saja terasa dinginnya hingga menusuk tulang, tapi aku ingin tidur, mengistirahatkan seluruh anggota tubuh agar mudah untuk menghadapi hari esok. Semakin subuh semakin dingin, tetapi kicauan mulut mereka terus saja mengganggu tidurku dan memaksa untuk bangun. Hari kedua telah tiba, hari dimana langkah menjadi sedikit lebih mudah, karena yang dilewati adalah bibir pantai dan beberapa tebing yang sesekali mengingatkan trauma tahun lalu, ditengah malam melewati tebing tanpa cahaya selain dari bola kecil bernama senter, aku hampir saja menjemput sakit parah atau bisa berujung kematian ditebing tersebut. Syukurlah, tahun ini aku melewatinya dibawah sinar mentari yang membantu langkah menjadi lebih terang.
Tebing demi tebing pun kami lewati,
hingga sampai pada satu titik di bibir pantai yang disisinya memiliki air
terjun, tak tahan dengan aroma tubuh yang semerbak (heemm), kuputuskan untuk
membersihkannya dengan beberapa teman. Ini adalah nikmat, nikmatnya panitia,
mendapatkan waktu lebih untuk melakukan yang tidak dapat dilakukan oleh
peserta. Heheee…
Perjalanan hari kedua itu lumayan mudah, tak ada yang membuat kepala mendongak, hanya kaki yang harus memiliki 4 mata agar tak salah langkah. Hanya ada satu bukit yang harus kami daki kala itu, tetapi itu tidaklah se-terjal bukit yang sebelumnya. Berjalan menyusuri lebatnya hutan, terus dan terus hanya menemukan rindangnya hutan dan beberapa sungai kecil untuk mengambil airnya. Setelah berjam-jam berjalan, kami bertahiyatul awal dibibir pantai, menunaikan ibadah, menambah energy, dan beberapa saat bersantai. Tertawa, bercanda dan bercerita dengan teman yang selayaknya pantas dipanggil “keluarga”.
Perjalanan hari kedua itu lumayan mudah, tak ada yang membuat kepala mendongak, hanya kaki yang harus memiliki 4 mata agar tak salah langkah. Hanya ada satu bukit yang harus kami daki kala itu, tetapi itu tidaklah se-terjal bukit yang sebelumnya. Berjalan menyusuri lebatnya hutan, terus dan terus hanya menemukan rindangnya hutan dan beberapa sungai kecil untuk mengambil airnya. Setelah berjam-jam berjalan, kami bertahiyatul awal dibibir pantai, menunaikan ibadah, menambah energy, dan beberapa saat bersantai. Tertawa, bercanda dan bercerita dengan teman yang selayaknya pantas dipanggil “keluarga”.
“Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu
dustakan”?
Sungguh ini nikmat yang tak pernah bisa
didapatkan diruang belajar dan tidak semua manusia pernah merasakannya.
Afterwards, berjalan melewati beberapa hutan dan sungai kecil, kami menemukan
mushalla dan berhenti disitu. Setelah menunaikan shalat ashar dan beristirahat,
kami harus bermalam disebuah kantor desa dikarenakan keadaan yang kurang
mendukung untuk perjalanan malam. Malam itu berlalu dengan cepat karena kami
beristirahat lebih cepat dari biasanya..
Awali harimu dengan secangkir kopi !.
Ekspedisi layaknya liburan, sesekali aku tersenyum sendiri memikirkannya, sungguh beruntung kalian para pencari status anggota, bermayoritaskan perempuan membuat penjelajahan ini tidak terlalu ekstrim dibandingkan tahun lalu. Tepat disamping kantor tempat kami bermalam terdapat warung kopi, dimana sesuatu yang langka ditahun lalu menjadi berlimpah ditahun ini, seperti air dan redupnya terik matahari, mungkin itu juga nikmat bagi mereka peserta. “Ngopi sambil menonton film kartun, pulau breueh serasa rumah”, gumamku saat itu. Tak berlama-lama dengan kesenangan khayalan, kini kenyataan itu kembali menghampiri, kamu tau kan apa itu kenyataan? Kenyataan bahwa langkah kembali menjadi terasa berat, nafas kembali terengah engah, teringat akan membasahi badan, kepala yang akan mengdongak lebih tinggi dari biasanya. Pulau tetaplah pulau, dimana gunung dan pantai yang akan kau lihat. Berkilo-kilo berjalan perlahan menghadapi tanjakan,
Awali harimu dengan secangkir kopi !.
Ekspedisi layaknya liburan, sesekali aku tersenyum sendiri memikirkannya, sungguh beruntung kalian para pencari status anggota, bermayoritaskan perempuan membuat penjelajahan ini tidak terlalu ekstrim dibandingkan tahun lalu. Tepat disamping kantor tempat kami bermalam terdapat warung kopi, dimana sesuatu yang langka ditahun lalu menjadi berlimpah ditahun ini, seperti air dan redupnya terik matahari, mungkin itu juga nikmat bagi mereka peserta. “Ngopi sambil menonton film kartun, pulau breueh serasa rumah”, gumamku saat itu. Tak berlama-lama dengan kesenangan khayalan, kini kenyataan itu kembali menghampiri, kamu tau kan apa itu kenyataan? Kenyataan bahwa langkah kembali menjadi terasa berat, nafas kembali terengah engah, teringat akan membasahi badan, kepala yang akan mengdongak lebih tinggi dari biasanya. Pulau tetaplah pulau, dimana gunung dan pantai yang akan kau lihat. Berkilo-kilo berjalan perlahan menghadapi tanjakan,
“Sometimes we stop but
never quit, terus berjalan walau sulit”-Nurulsyith
Sesekali bernostalgia dengan teman dan berbagi
cerita dengan junior, membuat langkah kaki terasa lebih ringan dan perjalanan
menjadi lebih bermakna. Dibawah teriknya matahari, berjalan diatas gersangnya tanah
ditaburi kerikil kecil, sesekali tergelincir kaki, bukannya menangis karena
sakit tapi malah tertawa karena kami bersama. Ditemani tembang dari grub band
Apache dan Bergek yang sedang buming di tanah Aceh, membuat kami lupa luka yang
telah menghiasi kaki mulus kami, baju yang basah karena keringat dan segala
kelelahan sebelumnya, ahh… kalian memang mampu membuat kami semangat, LOL
Ibadah jangan pernah lupa walaupun sesekali
sengaja untuk lupa. Ditengah perjalanan sebelum bertemu dengan aspal yang akan membakar
kulit, kami berteduh disamping sungai kecil untuk shalat, makan dan istirahat.
Kadang kesal, senang, bodo amat dan marah bisa terjadi dalam satu waktu ketika
datang waktu memasak, dikarenakan bahan dan alatnya berada di carrier yang
berbeda-beda, nesting sama si A, telur sama si B dan mie instan sama si Z,
kadang menjadi cerewet dan berkata-kata mutiara ketika itu terjadi dan akan
menjadi cerita lucu ketika diingat dan diceritakan kembali, heemm… nanti kita
cerita itu kalau ketemu...:D
Nah, neng teneeeeeng….. Tibalah kita di zona dimana peserta akan berkata “ayo pulang aja” atau “gak sanggup lagi” dsb, panitia yang sudah pernah begitu akan berkata “kita tunggu mobil lewat” atau “kita jalan malam aja”. Zone yang paling menyakitkan melebihi Abang Adek zone, seriously.
Jalan beraspal yang sisi kanannya tebing gunung tandus dan sisi kirinya semak belukar kemudian jurang, setelah tanjakan akan terlihat tanjakan terjal lainnya yang berliku-liku tanpa akhir sepanjang mata memandang, tak ada pohon untuk berteduh, kamu hanya memiliki dua pilihan “berhenti dibawah terik matahari atau terus berjalan”. Aku, sandi, ka’ kautsar dan cut nyak, nyerah! Sudah tergambar bagaimana lelahnya disini, bulat tekad untuk berjalan ketika malam jika tidak ada mobil yang datang. Sesaat setelah cang panah a.k.a wacana, terdengar suara mobil yang mengarah ke kami, spontan tanpa peduli carrier tak diambil, kami meminta supir truk berhenti dan meminta tumpangan. Awalnya bapak supir menolak karena isi truknya dipenuhi dengan pasir, tapi kami memaksa untuk menumpang dengan bermodalkan kata “kami panitia pak, jadi gapapa” hehehee…
Nah, neng teneeeeeng….. Tibalah kita di zona dimana peserta akan berkata “ayo pulang aja” atau “gak sanggup lagi” dsb, panitia yang sudah pernah begitu akan berkata “kita tunggu mobil lewat” atau “kita jalan malam aja”. Zone yang paling menyakitkan melebihi Abang Adek zone, seriously.
Jalan beraspal yang sisi kanannya tebing gunung tandus dan sisi kirinya semak belukar kemudian jurang, setelah tanjakan akan terlihat tanjakan terjal lainnya yang berliku-liku tanpa akhir sepanjang mata memandang, tak ada pohon untuk berteduh, kamu hanya memiliki dua pilihan “berhenti dibawah terik matahari atau terus berjalan”. Aku, sandi, ka’ kautsar dan cut nyak, nyerah! Sudah tergambar bagaimana lelahnya disini, bulat tekad untuk berjalan ketika malam jika tidak ada mobil yang datang. Sesaat setelah cang panah a.k.a wacana, terdengar suara mobil yang mengarah ke kami, spontan tanpa peduli carrier tak diambil, kami meminta supir truk berhenti dan meminta tumpangan. Awalnya bapak supir menolak karena isi truknya dipenuhi dengan pasir, tapi kami memaksa untuk menumpang dengan bermodalkan kata “kami panitia pak, jadi gapapa” hehehee…
Alhamdulillah, alhamdulillahhh,,, terasa seperti
dapat segunung air ditengah padang pasir, senang dimabuk kepayang ketika itu,
karena masih dipermulaan aspal, masih jauh berkilo kilo meter yang harus
dilalui dibawah teriknya matahari, gimana gak bersyukur,coba! Sedikit, merasa
tidak enak dengan beberapa panitia yang tetap setia menemani peserta berjalan,
tapi yaa gapapa lah, udah lewat, LOL
Hampir mendekati destinasi bermalam kami melaju
dengan truk pasir itu, ia berhenti dimana ia harus berhenti, perjalanan kami
belum berakhir, sudah tidak jauh lagi jalan yang harus dilewati, langkah terasa
sangat ringan kala itu, tujuan pun sudah terlihat dikedua bola mata. Sambil
menunggu mereka yang terus berjalan, kami pun memanfaatkan waktu untuk shalat
dan membersihkan diri a.k.a mandi. Then, mereka sudah melewati ketika kami
selesai berbenah, tinggallah (lagi) kami pasukan truk pasir berempat. Yah,
pantai alue raya sudah terlihat, cahaya matahari berubah menjadi jingga,
apalagi yang ditunggu selain menikmati “sunset di pulo aceh”. Nikmat, bukan?
Malam dijalan sudah biasa bagi kami, yang
terfikirkan dibenakku adalah “gapapa kan kita panitia, malam ini juga nginap di
Rinon, bentar lagi sampai”. Tak butuh waktu lama, kira-kira masih ada waktu
untuk shalat maghrib, kami pun sampai ditempat peristirahatan (bukan terakhir).
Rinon.
Spot dan malam yang indah, ditemani gemerlap
bintang disisinya bulan benderang, masih sama seperti kemarin, tidur beralaskan
terpal (terima kasih April a.k.a Mauriza Apriansyah) yang sudi berbagi,
berselimutkan jaket beserta sleeping bag, dihangatkan api unggun yang lumayan
besar dari sebelumnya. Tidur lebih awal karena pukul 03:00 WIB dini hari akan
menjadi “midnight journey” nya kami. Terpikirkan sebelumnya ini akan menjadikan
langkah lebih ringan, kenyataan tetaplah kenyataan, rute yang dilewati dini
hari lagi dan lagi adalah tanjakan, yang membedakannya adalah tidak adanya
terik sinar matahari. Perlahan tapi pasti, menopang diri dengan berpegang pada
carrier sesepuh a.k.a ka’ Ridha Saputra, btw, makasih ka’ do… aku sedikit
kuat, tak benar-benar kuat. “Ini
tanjakan terakhir” kata-kata HOAX itu keluar dua kali dari sesepuh itu,
tanjakan berangsur-angsur terlihat. But, setelah naik tetap adanya turun, turun
yang berangsur-angsur pula, sampai kami harus menahan berat badan dan berat
carrier agar tak jatuh kejurang di permukaan jalan. Ba’daha, sampailah kami
dijalan dan menemukan jalan pintas untuk sampai di Pelabuhan Meulingge.
Berjalan diatas pasir dipagi buta (pukul 04:15 WIB), mendengar dan melihat
lebih dekat desiran ombak pagi, merasakan dinginnya hembusan angin, bintang
yang bertaburan dilangit yang indah, milky way,, aku rindu! lampu-lampu rumah
bak bintang dilangit, sungguh indah ciptaan-Mu Tuhan!
Meulingge, desa yang kupanggil rindu.
Disinilah rindu itu bermula, rindu pada segala
yang ada dan seluruh isinya, desa yang akan menobatkanmu sebagai milik negara,
LOL. Ribuan lembu dipinggir pantai bagai lukisan pelengkap alam, sunrise yang
telah ditakdirkan indah, pantai yang tak ingin kau berpisah dengannya, laut
yang terus memanggil untuk bermain bersama ombaknya. Mungkin kau mengira ini
HOAX, tapi coba datangi, lihat dan rasakan! Kau tak akan pernah mengingkarinya.
Aku sudah mencoba di kali kedua aku kemari, ribuan kali lagi akan terus
terpanggil untuk kembali, trust me, it works! Heheee…
Sinar mentari terbit perlahan seakan mengisi
cahayanya masuk kedalam tubuh lelah ini, mengubah warna malam menjadi hangat tapi
sedikit sejuk dan terang, kedinginan subuh menjadi kehangatan pagi, itulah
Meulingge, dimana rindu itu bermula… hehehee
Setelah bermain dengan yang ada disana,
sesekali mengabadikan moment dan ngopi bersama sesepuh, perjalanan kembali
dilanjutkan. Tepat pukul 09:00 WIB, aku yang ditugaskan menjadi mentor kelompok
1 pun membawa peserta menuju titik dimana yang dicari itu berada, “Menara
Mercusuar”. Yaa, kelompok 1 memang keren a.k.a kece, mulai dari mentor, ketua
kelompok, anggota dan seluruh isinya, kau tau lah isinya itu apa.. LOL
Ini hari terakhir menghadapi kenyataan alias
tanjakan dan jajaran bukit, terengah-engah lagi, mendongak lagi, baju basah
lagi, kaki menjadi semakin berat. Ditengah perjalanan yang menyesakkan dada dikarenakan
beratnya carrierku, alhamdulillah ada sesepuh yang mulia hatinya a.k.a ka’
Subki yang bersedia membantu membawakan carrier sehingga mudah untukku berlari
mengejar kelompok 1 yang hilang ditelan pandangan. Setelah berjalan cepat dan
sesekali berlari, akhirnya anak yang meninggalkan ibunya dapat kembali. Last
but not least, kelompok ter-kece selama Ekspedisi pun sampai di puncak kegilaan
ini. Ikut terharu ketika ketua kelompok a.k.a Abrar pakek R berkata “ya,
akhirnya! 4 hari 4 malam jalan kaki, akhirnya sampai juga” kurang lebih
begitulah kata-katanya,, heh. Tak henti-hentinya anak itu mengoceh, sampai
bergetar tangannya ketika memegang monopod untuk mengabadikan kebahagiaannya
itu, heleehh #BOOM!
Sebagai para pecari yang sampai duluan dipuncak
pencarian, sudah hokum alamnya menunggu yang lain sampai sambil merebahkan
badan yang seakan remuk mengangkat beban. Isi pahala, isi perut, isi jiwa
dengan bermain ludo udah, ngopi udah, setelah terisi semua kekosongan, barulah
kita masuk ke acara inti, yaitu mengabadikan kesuksesan Ekspedisi ini dan
menyerahkan hak peserta untuk menjadi Anggota tetap Racana UIN Ar-Raniry ini.
Banyak hal yang terjadi ketika di Mercusuar, salah satunya ketika sesi
evaluasi, ada beberapa yang meluapkan uneg-uneg dan kekesalan dan tak banyak
juga yang mengungkapkan kebanggaannya terhadap sesama, haru yang berujung
tangis bahagia, marah yang berujung damai, segala yang keruh menjadi murni saat
berada dititik pengakuan.
Mercusuar bukan hanya menjadi sejarahnya dunia, melainkan sejarahnya aku, kamu, dia dan kita semua. Maka, tak ingin kutitip rindu pada Rinon ataupun Meulingge, tapi kutitip rinduku pada Mercusuar agar cerita yang membuatku rindu menjadi sejarah yang akan dicatat dunia, dikenang semua orang, terletak dipuncak Pulo Aceh yang mana untuk mencapainya membutuhkan pengorbanan, perjuangan, kebersamaaan dan tekad yang kuat, kutitip rindu diatas Menara setinggi 85m dengan dalamnya pondasi sama dengan tingginya Menara tersebut, sedalam itu pula ingin kutanam rindu ini…
Mercusuar bukan hanya menjadi sejarahnya dunia, melainkan sejarahnya aku, kamu, dia dan kita semua. Maka, tak ingin kutitip rindu pada Rinon ataupun Meulingge, tapi kutitip rinduku pada Mercusuar agar cerita yang membuatku rindu menjadi sejarah yang akan dicatat dunia, dikenang semua orang, terletak dipuncak Pulo Aceh yang mana untuk mencapainya membutuhkan pengorbanan, perjuangan, kebersamaaan dan tekad yang kuat, kutitip rindu diatas Menara setinggi 85m dengan dalamnya pondasi sama dengan tingginya Menara tersebut, sedalam itu pula ingin kutanam rindu ini…
Ini bukanlah cerpen ataupun lembaran isi novel, ini hanyalah celotehan anak yang isi kepalanya penuh dengan kata yang ingin bercerita layaknya buku tapi mulutnya hanya mengeluarkan huruf. Mereka yang penuh kebaikan, cerita, keunikan, ketulusan dan segala hal dalam cerita ini mungkin tidak semua disebutkan, bukan karena tak bernilai tapi karena tak ternilai harganya..
“Kadang tidak semua itu harus dikatakan”-Rizka MulianiBOOM !!!
Comments
Post a Comment